Sebagaimana saya janjikan di tulisan pertama saya di blog ini yang bertajuk “Sastra Pratama“ terkait penjelasan saya mengenai dua buah Candrasengkala sebagai peringatan tahun kelahiran saya. Maka pada tulisan saya kali ini, secara khusus saya akan membahas mengenai Candrasengkala yang mencakup pengertian, sejarah, penggunaan dan penurunan kata, dan berikut contoh penulisannya. Baiklah mari kita mulai…
_______________________________________
Pengetian Candrasengkala
Candrasengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya pernyataan dan Sengkala yang artinya angka tahun. Dengan demikian Candrasengkala adalah pernyataan yang berarti angka tahun, pada pengertian Candrasengkala ini kita sebut istilah umum. Candrasengkala terdiri dari dua macam yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala. Suryasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bumi terhadap Matahari (Surya), sebagaai contoh adalah tahun Masehi. Sedangkan Candrasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bulan (Candra) terhadap bumi, sebagai contoh adalah tahun Saka/Jawa dan tahun Hijriyah, sedangkan pengertian Candrasengkala yang ini kita sebut istilah khusus.
Candrasengkala juga disamakan dengan istilah yang lain yaitu Sengkalan yang berarti kalimat atau susunan kata-kata yang mempunyai watak bilangan untuk menyatakan suatu angka tahun. Karena istilah Candrasengkala secara umum sama dengan istilah khususnya, maka untuk istilah umum Candrasengkala pada tulisan ini kita akan menggunakan istilah Sengkalan sedangkan pada istilah khususnya tetap digunakan istilah Candrasengkala. Sengkalan menurut jenisnya dibagi menjadi dua jenis yaitu Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba, hal ini merujuk pada “Keterangan Candrasengkala yang ditulis oleh Raden Bratakesawa. Adapun Sengkalan Memet adalah Sengkalan yang berbentuk gambar, ukiran, relief, patung dan bentuk-bentuk semacamnya yang bermakna angka tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah Candrasengkala Dwi Naga Rasa Tunggal yang berbentuk dua ekor naga besar yang masing-masing ekornya saling membelit. Candrasengkala ini terletak di Regol Kemagangan di Keraton Kasultanan Yogyakarta yang merupakan peringatan tahun berdirinya Keraton tersebut yaitu tahun 1682. Sedangkan Sengkalan Lamba adalah Sengkalan yang berbentuk kalimat yang bermakna angka tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah Candrasengkala Surud Sinare Magiri Tunggil sebagai peringatan peristiwa mangkatnya Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana V pada tahun 1750.
Pada jaman dahulu masyarakat jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai contoh pada setiap bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan, gapura, tugu, dan bangunan-bangunan lainnya. Selain itu pada karya-karya sastra jawa, benda-benda bersejarah, karya seni, lambang/seimbol suatu kota, lembaga atau organisasi, surat-surat jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau waktu tahun penulisannya.
Sengkalan juga sering digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting yang terjadi disuatu masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap kondisi politik, sosial, atau juga bermakna do’a harapan, peringatan kelahiran seseorang, kematian seseorang dan sebagainya. Misalkan pada masa masa akhir Kerajaan Majapahit ditandai dengan Candrasengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menggambarkan runtuhnya Kerajaan besar tersebut pada tahun 1400 Saka. Kemudian juga pada Menara Kudus tertulis Candrasengkala Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menggambarkan kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang kacau ketika itu yaitu tahun 1609.
Untuk Sengkalan yang bermakna do’a atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai contoh adalah Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang mengandung makna do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia ini hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut serta menyusup dan menyebabkan kesengsaraan rakyat. Suryasengkala tersebut tertulis dalam suatu syair penutup Sekar Pucung di dalam Serat Kamardikan yang selesai ditulis pada tahun 2002 oleh Ciptawidyaka. Dresthi Sirna Nir Sikara menunjukkan angka tahun Masehi 2002. Sedangkan contoh lainnya adalah Candrasengkala Sangsaya Luhur Salira Kang Aji menyatakan tahun 1805 Saka/Jawa yang merupakan ucapan selamat datang yang disampaikan oleh Sri Paduka Mangkunegoro IV kepada Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX. Selain itu juga terdapat pula Candrasengkala Muji Dadya Angesti Sang Prabu menyatakan tahun 1847 yang merupakan tahun penulisan surat balasan KPH Kusumayuda kepada Sampeyan Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Paku Buwana X.
Sebenarnya pada masa sekarang penggunaan Sengkalan dapat sangat luas lagi pemaknaannya, seperti sindiran-sindriran yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat agar tetap konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi rakyat untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalkan Sengkalan yang saya buat untuk tahun ini 1945 Saka/Jawa, 1433 Hijriyah dan 2012 Masehi yang bermakna do’a dan harapan. Untuk tahun Jawa Candrasengkalanya adalah Marganing Karta Trus dening Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan berpendidikan dalam hal ini adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat”. Tentu ini saya tujukan untuk mengigatkan pemerintah dan wakil-wakil rakyat bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi manakala pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang berpendidikan tersebut menjadi orang-orang yang baik yakni memiliki sifat jujur dan memihak kepentingan rakyat. Sedangkan Candrasengkala tahun 1433 Hijriyahnya dapat dibuat Katon Murub Kartaning Negara yang bermakna “tampak berkobar kemakmuran dan kesejahteraan negara”. Pesannya adalah setelah beliau-beliau yang duduk di pemerintahan (eksekutif) dan perwakilan rakyat (legislatif) tersebut menjadi orang baik dan menjalankan roda pemerintahan yang jujur dan memihak kepentingan rakyat maka akan tampaklah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang semakin berkobar. Namun bagaimana jika ternyata pemerintah dan wakil-wakil rakyat itu berkhianat? jangan khawatir kita sebagai rakyat masih punya senjata pamungkas yang tanpa tanding yaitu Suryaasengkala 2012 Masehi Sikaraning Gusti Sirnaning Dresthi yang bermakna “campur tangan Tuhan berupa peringatan keras atau azab kepada manusia yang jahat akan menghilangkan pengkhianatan yang dilakukan oleh manusia-manusia jahat tersebut”. Tapi tentu ini adalah sesuatu yang berbahaya, oleh karena itu Suryasengkala ini tidaklah perlu digunakan selama manusia-manusia mau “eling lan waspada” dan berbuat baik kepada sesama manusia. Kita simpan saja sebagai pusaka sakti :).
Sejarah Candrasengkala
Sejarah Sengkalan ini dimulai sekitar tahun 70-an Masehi atau abad pertama Masehi. Ketika itu seorang Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan kemudian menetap di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Aji Saka kemudian bergelar Empu Sengkala. ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Aji Saka memperingatinya sebagai tahun 1 Saka yang ditandai dengan kalimat Kunir Awuk Tanpa Dalu (kunyit busuk tanpa malam). Diceritakan Aji Saka kemudian menyebarluaskan ilmu astronomi dalam hal ini adalah perhitungan tahun atau almanak serta berbagai bentuk kesenian. Usaha Aji Saka ini terbukti berhasil dan menjadi terkenal hingga keluar Pulau Jawa yang kemudian banyak orang yang berdatangan ke Pulau Jawa hingga beberapa waktu kemudia Aji Saka pun kembali ke Surati setelah merasa cukup mengajarkan ilmu kepada penduduk Pulau Jawa.
Aji Saka membagi perhitungan tahun menjadi dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala yang maknanya seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan ini. Suryasengkala dipakai oleh masyarakat jawa kuno sampai akhir Kerajaan Majapahit yaitu antara tahun 700 sampai 1400 Saka atau sekitar tahun 1478 Masehi. Sedangkan Candrasengkala sendiri kemungkinan baru dipakai oleh masyarakat Jawa pada masa setelah Islam masuk ke Pulau Jawa yaitu masa walisongo diakhir Kerajaan Majapahit dan diawal Kerajaan Demak dengan menggunakan tahun Islam, Hijriyah yang berbasis qomariyah atau perhitungan tahun berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Pada masa Sultan Agung yang merupakan Raja Mataram Islam, digunakan tahun Saka/Jawa sebagai kalender resmi yang masih dipakai hingga saat ini. Kalender ini merupakan kalender qomariyah yang didasarkan pada perhitungan tahun Hijriyah namun awal tahunnya adalah tahun dimana Aji Saka datang pertama kali di Pulau Jawa dan bukan menurut hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagaimana tahun Hijriyah.
Penggunaan dan Penurunan Kata
Pada awalnya penyusunan kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa Sansekerta. Menurut pendapat saya, sebenarnya penggunaan kata-kata dalam Sengkalan juga dapat disesuaikan dengan masa sekarang ini didasarkan pada perkembangan budaya maupun ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa tanpa meninggalkan pakem watak bilangan. Misalkan karena mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam, maka kata-kata Allah SWT atau Gusti Allah dapat disisipkan sebagai kata serapan untuk Sengkalan. Contoh kata yang lain adalah Wali dari kata waliyyullah atau kekasih Allah SWT yang merupakan ulama tingkat tinggi yang dalam konteks Sengkalan ini sepadan dengan Barahmana. Atau juga kata pandhita bisa juga diganti dengan kata Kyai, Maulana, Syaikh, Habib dan sebagainya. Namun demikian, ini hanyalah merupakan sebuah pemikiran yang kemudian diusulkan. Saya kira kata-kata dari bahasa Arab bisa dimasukkan dalam susunan kata-kata untuk menyusun Sengkalan berdasarkan konsep kata-kata sepadan (Guru Dasanama), sejenis (Guru Warga), sekerja (Guru Karya), sealat (Guru Sarana), dan sekeadaan (Guru Darwa) sebagaimana kata Nabi yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab pada masa Walisongo.
Adapun menyinggung masalah penurunan kata yang sempat saya bahas di atas. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam penurunan kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa Jawa baru atau kata-kata serapan dari berbagai bahasa yang akan kemudian disepadankan dengan bahasa Sansekerta ataupun kata-kata yang telah diturunkan dalam penyusunan Sengkalan. Menurut Raden Bratakesawa, sebagaimana saya kutip dari laporan skripsi saudari Meirissa Ramadhani ada 8 macam, yaitu:
- Guru Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan sebagainya.
- Guru Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah dalam penggunaan Sengkalan esthi yang dimaksud berarti pemikiran, perasaan dan kehendak meski banyak juga Sengkalan yang menggunakan esthi tetap bermakna gajah.
- Guru Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama pula wataknya sehingga kita dapat menambahi, mengurangi, maupun menyisipi suku kata seperti: utawaka menjadi uta karena dikurangi suku katanya. Kemudia kata buja menjadi bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya.
- Guru Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang berarti belut.
- Guru Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlakukanya sebuah kata dianggap sama wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau mata memiliki eatak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah satu yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat.
- Guru Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah adalah alat untuk pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu sendiri atau sama juga dengan kata perang.
- Guru Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api memiliki watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.
- Guru Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang sebenarnya sperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras atau serasi.
Demikianlah 8 macam ketentuan untuk menurunkan sebuah kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa baru atau juga ketentuan penyerapan kata dari bahasa lain yang akan disepadankan dengan kata dari bahasa Sansekerta. Namun demikian kita tidak perlu menggunakan 8 macam ketentuan tersebut untuk mencari kata-kata sebagai dasar penyusunan Sengkalan karena itu adalah wilayah para Pujangga, Empu, Sujanma, Pandhita, Resi, Brahmana dan setaranya. Pada tulisan ini kita cukup menggunakan kata-kata yang sudah baku dan itupun jumlahnya sudah cukup banyak. Menurut Ciptawidyaka berikut adalah contoh kata-kata yang sudah biasa digunakan untuk menyusun Sengkalan.
Watak bilangan 0
Kata-kata yang termasuk watak bilangan 0 adalah kata-kata yang memiliki arti kosong, hilang, habis, langit, dan tidak tampak secara jasmaniyah. Contoh:
Kata sirna berarti hilang atau habis memiliki watak 0 karena kata sirna dan semua padan katanya berarti kosong.
Watak bilangan 1
Kata-kata yang termasuk dalam watak 1 adalah kata-kata yang memiliki arti satu, tunggal, berjumlah satu baik itu Dzat Tuhan, benda, manusia, binatang, dan makhluk hidup lain serta kejadian alam dan sebagainya. Contoh:
Kata Gusti yang berati Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa memiliki watak 1 karena kata Gusti dan semua padan katanya berarti Dzat yang hanya berjumlah satu.
Watak bilangan 2
Kata-kata yang termasuk dalam watak 2 adalah kataa-kata yang memiliki arti dua atau sepasang. Contoh:
Kata asta yang berarti tangan memiliki watak 2 karena tangan manusia berjumlah dua atau sepasang. Demikian juga kata netra yang berarti mata memiliki watak 2 karena mata manusia berjumlah dua atau sepasang. Sedangkan kata Nembah atau menyembah memiliki watak 2 karena ketika seseorang melakukan sembah dalam adat Jawa menggunakan dua tangan.
Watak bilangan 3
Kata-kata yang termasuk dalam watak 3 adalah kata-kata yang memiliki arti tiga atau dalam sifatnya berunsur tiga. Contoh:
Kata Bahni atau geni yang berarti api memiliki watak 3 karena api terjadi karena adanya tiga unsur yaitu: alat pemantik, sarana, dan udara. Pendapat lain tentang api ini adalah karena konon para Brahmana mengklasifikasikan api menjadi tiga macam yaitu: api rumah tangga, api petir, dan api persembahan.
Watak bilangan 4
Kata-kata yang termasuk dalam watak 4 adalah kata-kata yang memiliki arti empa atau berkait dengan segala sesuatu tentang air. Contoh:
Kata segara atau laut dikatakan berwatak 4 karena diyakini bahwa air laut berasal dari tampungan empat jenis/sumber air yaitu: air dari mata air, air bengawan, air pancuran, dan air hujan. Adapun kata air sendiri dikatakan berwatak 4 karena kata air diturunkan dari kata warnna yang berarti kasta, sementara itu kasta dalam keyakinan Hindu berjumlah empat.
Watak bilangan 5
Kata-kata yang termasuk dalam watak 5 adalah kata-kata yang memiliki arti lima atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 5. Contoh:
Kata pandhawa dikatakan berwatak 5 karena jumlah personil dari pandhawa berjumlah lima orang yaitu: Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Watak bilangan 6
Kata-kata yang termasuk dalam watak 6 adalah kata-kata yang memiliki arti enam atau dalam sifatnnya mengandung unsur berjumlah 6 atau juga segala sesuatu yang berkait dengan sifat manis. Contoh:
Kata Anggana atau lebah dikatakan berwatak 6 karena jumlah kaki lebah berjumlah 6.
Watak bilangan 7
Kata-kata yang termasuk watak 7 adalah kata-kata yang memiliki artti tujuh atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 7. Contoh:
Kata resi atau pendeta suci dikatakan memiliki watak 7 karena ada anggapan bahwa pada jaman purwa ada tujuh orang pendeta suci yaitu: Resi Kanwa, Resi Parasurama, Resi Janaka, Resi Wasistha, Resi Carika, Resi Wrahaspati, dan Resi Naraddha.
Watak bilangan 8
Kata-kata yang termasuk dalam watak 8 adalah kata-kata yang memiliki arti delapan atau adalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 8 atau segala sesuatu yang berkait dengan ular. Contoh:
Kata basu dari asal kata wasu dikatakan berwatak 8 karena wasu merupakan sebangsa dewa yang berjumlah delapan personil. Sedangkan Bujangga dikatakan memiliki watak 8 karena seorang bujangga atau pujangga harus memiliki delapan kemampuan yaitu: Paramasastra (kemampuan didalam kesusastraan), Paramakawi (kemampuan didalam bahasa kawi), Mardibasa (kelebihan didalam oleh kata), Mardawalagu (kemampuan dibidang lagu-lagu tembang dan gending), Hawicarita (kepandaian didalam bercerita), Mandraguna (berilmu pengetahuan luas), Nawung Krida (kemampuan mengarang/mengubah suatu karya yang memiliki nilai filosofi tinggi), dan Sambegana (kekuatan daya ingat).
Watak bilangan 9
Kata-kata yang termasuk dalam watak 9 adalah kata-kata yang memiliki arti sembilan atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 9 atau segala sesuatu yang berkaitan dengan belalang. Contoh:
Kata lubang dikatakan berwatak 9 karena dalam tubuh manusia memiliki lubang alami yang berjumlah sembilan yaitu: dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, dan satu lubang kelamin.
Penyusunan kata dalan Candrasengkala
Setelah mengenal kata-kata beserta wataknya, maka kita akan dapat membuat Sengkalan. Namun demikian ada beberapa hal penting yang perlu anda ketahui sebelum menyusun sebuah kalimat Sengkalan, yaitu:
- Penggunaan kata-kata harus atau sebisa mungkin menggunakan kata-kata yang sudah baku atau biasa digunakan sesuai dengan watak bilangan yang dikehendaki yaitu seperti yang tercantum pada contoh kata-kata di atas dan tidak perlu lagi mencari kata-kata yang aneh.
- Struktur katanya dapat berupa kalimat atau sekadar sususunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah kalimat.
- Makna kalimat atau susunan katanyadapat menggambarakan keadaan tahun yang akan dibuatkan Sengkalan.
- Susunan kata atau kalimat dapat berupa berita, pujian, harapan, dan do’a.
- Meski susunan kata atau kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun bersangkutan.
- Susunan kata atau kalimat didalam Sengkalan menunjukkan susunan angka bilangan tahun secara berturut-turut dari kiri ke kanan dengan susunan sebagai berikut:
- kata pertama menunjukkan angka satuan dari tahun
- kata kedua menunjukkan angka puluhan dari tahun
- kata ketiga menunjukkan angka ratusan dari tahun
- kata keempat menunjukka angka ribuan dari tahun
Setelah kita memahami ketentuan-ketentuan di atas, maka kita akan dengan mudah membuat Sengkalan untuk tahun yang kita kehendaki. Misalkan dalam tulisan ini saya akan membuat Sengkalan untuk memperingati tahun kelahiran seorang teman saya, yaitu:
- Seorang teman saya lahir pada tahun 1977 Masehi, beliau adalah seorang aktivis pengajian yang aktif pada berbagai organisasi Islam pada masa mudanya dahulu. Maka Sengkalan yang cocok dan berkait dengan kegiatan teman saya tersebut adalah Suryasengkala Wasitaning Resi Ambuka Budi, disini kata Wasita berwatak 7, kata Resi berwatak 7, kata Ambuka berwatak 9, dan kata Budi berwatak 1. Adapun makna dari kalimat tersebut adalah “nasihat, petunjuk, dan pelajaran dari seorang ahli agama akan membuka pikiran atau pemikiran” (untuk arti perkatanya dapat anda lihat pada tabel-tabel daftar watak bilangan di atas). Jadi pesan dari Suryasengkala ini adalah jika kita mendengarkan petunjuk, nasihat, dan pelajaran dari ahli agama (alim ulama) Insya Allah akan terbuka pikiran kita dari segala sesuatu hal buruk yang menutupinya, sehingga kita akan dengan mudah memperoleh dan menerima ilmu pengetahuan yang otomatis akan meningkatkan wawasan kita. Maka rajin-rajinlah mengaji.
- Sengkalan kedua masih berkait dengan Sengkalan di atas karena ini merupakan versi tahun Hijriyahnya, yaitu 1397. Candrasengkala dari tahun tersebut adalah Sabdaning Jawata Wedaning Urip, dimana kata Sabda berwatak 7, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3, dan kata Urip berwatak 1. Adapun makna dari Candrasengkala ini adalah “firman-firman Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Jadi pesan dari Candrasengkala ini adalah pelajarilah kitab suci (dalam hal ini Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat firman-firman Allah SWT yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
- Sengkalan yang kertiga juga masih terkait pada kedua Sengkalan di atasnya, terlebih lagi pada Sengkalan kedua, pasalnya Sengkalan ini juga merupakan versi Hijriyah yaitu tahun 1398. Karena saya tidak tahu persis bulan kelahiran teman saya tersebut dan sementara itu pada tahun 1977 Masehi bertepatan dengan dua tahun Hijriyah yaitu 1397 dan 1398 maka untuk “berjaga-jaga” saya juga membuat Sengkalan versi 1398-nya yaitu Esthining Jawata Wedaning Urip, dimana kata Esthi berwatak 8, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3,dan kata Urip berwatak 1. Pada Candrasengkala ini memang kalimatnya sengaja saya buat mirip dan pesannya pun sama yaitu “kehendak Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Pesannya adalah sama yaitu pelajarilah kitab suci (Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat kehendak-kehendak Allah SWT atas segala makhluk khususnya manusia yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
Dari ketiga Sengkalan di atas jelas sekali bahwa sebenarnya antara tahun Masehi, Hijriyah dan bahkan mungkin Saka/Jawa memiliki makna yang identik satu sama lain atau setidaknya dapat dibuat seperti itu. Pada tulisan ini, sebenarnya saya masih ingin memberikan contoh Sengkalan yang lain dari tahun kelahiran teman-teman saya. Namun karena sampai di sini saja tulisan ini sudah sangat panjang maka saya kira tidaklah perlu memuatkan contoh yang lain. Bagaimana dengan anda? anda juga bisa membuat yang lebih bagus lagi, lebih bermakna lagi, tidak hanya untuk memperingati hari kelahiran orang-orang terdekat anda, tapi bisa juga untuk tahun didirikannya perusahaan anda, bangunan rumah, berbagai karya yang telah atau akan anda buat atau segala sesuatu di lingkungan masyarakat anda. Maka ayo kita coba, hitung-hitung melestarikan budaya bangsa, mumpung Malaysia tidak bisa atau belum bisa bahasa Jawa hahaha.
Baca juga tulisan serupa: Membuat Sengkalan Memet
_________________________________
Daftar bacaan
Ciptawidyaka. (2009). Mengenal Sengkalan. http://www.oocities.org/santoso_spuwg/laboratorium.htm. Download Maret 2012. labotaorium.htm –> Anda bisa melihatnya di sini
Meirissa Ramadhani. (2009). Candrasengkala Sebagai Representasi Kebudayaan Keraton Yogyakarta. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital. Download April 2012 . 123482-RB02M109c…pdf –> Anda bisa mendownloadnya di sini dan di sini
Teguh Budi Sayoga (2004). Panduan Pemakaian Hanacaraka Font Untuk Pengetikan Aksara Jawa Pada Perangkat Lunak Komputer Sistem Operasi Window. http://www.hanacaraka_fateback.com. Download April 2012. tutorial_hanacara.pdf & hanacaraka.rar. (khusus untuk penulisan aksara jawa). –> Anda bisa melihatnya di sini
tulisan yang sangat bagus mas
kalau untuk 1992 masehi gimana ya mas?
saya mencoba merangkainya, tapi malah gak karu-karuan hehehee
karna Sengkalan tidak untuk ramalan dan tidak pula terkait dengan hal-hal mistis, maka “Kanthi Nanda Hanrustha Prabu” adalah suryasengkala yang cukup cocok untuk menggambarkan peristiwa Pemilu di Indonesia Tahun 1992 Mahesi.. artinya “dengan bersuara (mensukseskan pemilu) akan menggembirakan sang Prabu/Presiden” 😀
mungkin karena apapun hasil pemilunya Pak Harto tetap akan jadi Presiden <– Orde Baru memang seperti itu 😀
semoga berkenan matur suwun..
Mantab sudah
Misal sengkalan untuk do’a dan harapan buat saya pribadi gimana mas? Hehehe
Maafkeun bila banyak tanya 🙂
maaf, mungkin pakai candrasengkala saja mas… tahun 1992 itu bertepatan dengan tahun ke berapa hijriyah atau tahun berapa jawa?
tapi kalo mau tahun masehinya kira2 (maaf tidak sempat berfikir lama) “Ngabeki mring Dewa Ambuka Budi” –> berbakti kepada Tuhan akan membuka pemikiran, karena pada dasarnya dekat dengan Tuhan itu akan menjadi kita tenang dan dengan ketenangan jiwa akan menjernihkan pikiran2 kita..
semoga berkenan..
Oh gitu ya mas. Maaf kurang begitu paham hehehe
Untuk 1992 kira2 1924 tahun jawa.
Terima kasih mas. Maaf lho ngrepotin hehehe
maaf mas, sebenarnya kan saya kurang tau apakah mas ini suka hal2 relijius atau suka hal2 yang tidak berkait reliji..
tentu harapan orang kan sesuai dengan hal2 yang dia sukai.. nah mas ini suka dengan hal2 yang manakah?
kalau candrasengkala 1924 jawa bisa juga: “Dadya Asta Pambuka Jagat’ –> jadilah orang yang dapat membuka alam semesta dengan kedua tangannya (pemikiran dan tindakannya)
silakan dimaknai sendiri ya mas… maaf kalau kurang berkenan di hati, karena harapan mas (danny ya?) kan hanya pribadi mas danny yang tau…
Terima kasih banyak mas atas bantuannya.
Semoga Tuhan memberkati 🙂
ya mas sama2.. terima kasih juga sudah memberikan PR yang menarik 🙂
pusing ah, susah buat materi UTS
haha.. iya mbak memang sebagian orang bilang menyusun sengkalan itu susah, tapi menurut saya kerumitan dalam menyusun kata2 agar menjadi sebuah kalimat yang baik dan bermakna itu adalah suatu tantangan menarik.. lebih dari sekedar teka-teki silang 😀
btw, ini susahnya karena postingan saya tidak bagus sehingga kurang komunikatif dan susah dipahami atau karena memang materi sengkalan itu susah? 😀
Alhamdulillah dari dulu aku nyari tentang sangkalan,lumayan lengkap tulisannya,trimakasih,bisa buat nambah pengetahuan.
Matur Suwun juga MasYon atas kunjungan dan komentarnya.. semoga dengan adanya sharing bisa lebih memperkaya khazanahnya..
mbiyen diajari jaman pelajaran basa jawa
wes lali saiki
aku ya lali mas biyen, ning basan tak sinau maneh jebul apik tur iso kanggo ngasah pikiran 😀
sangat lengkap, matur nuwun sanget,, mohon diperkenankan untuk ngopy artikelnya, pingin belajar juga dari mas aryanta… salam wilujeng
matur suwun ugi mas Anggit.. sumonggo dipun copy artikelipun.. saya juga sedang belajar kok mas Anggit 😀
matur nuwun sanget mas Ariyanta,,ndherek ndarbeni lan nguri2 kabudayan ingkang sae..,,*so proud
kalau tentang penanggalan ABOGE dan ASAPON apakah tahu landasan dasarnya ya, maturnuwun
Kalo tentang ABOGE saya sama sekali tidak tahu,, ASAPON saya malah baru pertama kali tahu nama tsb..
terimakasih atas tulisan ini, saya sangat senang membacanya, luar biasa, menambah pengetahuan saya
Mengingat kembali pelajaran Basa Jawa saat saya masih SD dan SMP dulu Pak..
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, Pak Putu
begawan hariyanto
brahmana kusuma ning gusti
dadya luhur hangarta bumi
matur suwun atas kunjungan dan komentarnya mas..
saya lahir 1917 tahun jawa klo saya sengkalankan SABDA SUJANMA AMBUKA SWARGA bisa gk mas? mhon pencerahan
“Sabda Sujanma Ambuka Swarga” tidak menunjukkan angka tahun 1917 mas. Sebab kata “Swarga” berwatak 0 bukan berwatak 1. Alternatifnya bisa menggunakan susunan kata “Sabdaning Sujanma Ambuka Budi”.
Terima kasih tulisannya, Mas. Saya kira ini cukup lengkap untuk dijadikan acuan. Saya izin mengutip ya, Mas.
Terima kasih jg Pak Dharma.. silakan-silakan Pak, smoga bisa menjadi bermanfaat
mohon ijin untuk ngundhuh ..
Monggo pak, silakan
Lawon Sapta Ngesthi Aji….itu artinya tahun berapa ya mas?
Lawon itu jika diartikan kain putih/suci, maka bisa menunjukkan watak 4; sapta berwatak 7; ngesthi berwatak 8; aji bisa berwatak 1 karna seorang Raja bisa dipanggil ingKang Aji.. berarti kalimat Lawon Sapta Ngesthi Aji menunjukkan 1874 saka atau 1943 masehi..
tapi mohon maaf, bagi saya tahun sengkalan ini ‘fiktif’.. jika itu berasal dari Sabda Palon brarti sebuah ramalan (atau mungkin keinginan/harapan dr Sabda Palon).. sementara Sengkalan tidak bisa digunakan untuk meramal, karna dibuat sebagai tetenger dari kejadian pada suatu tahun yg sdh berlalu atau sedang berjalan.. nuwun
ijin ngopy mas, maturnuwun
Silakan, smoga bermanfaat
Bagus Mas …!!!…
Ternyata membuat Candrasengkala ada kaidahnya/ada sistematikanya.
Dari uraian Mas Ariyanta … manfaat yang bagi saya sangat berharga, adalah adanya uraian/tabel mengenai “watak kata-kata”.
Informasi ini sangat membantu untuk mengetahui (minimal “menebak”) angka tahun yang “di-sandi-kan” dalam Candrasengkala.
Berbekal “tabel watak kata-kata”, saya mencoba mengartikan Candrasengkala:
“Gunaning Tata Dedalaning Reja” …. ternyata saya belum bisa.
Gunaning = 3
Tata = 5
Dedalaning = …???…
Reja = …???…
Mohon dibantu Mas.
Nuwun,
Wuryanto.
untuk ’dedalaning’ bisa diartikan ’jalan yg harus dilewati’, menurut tabel watak bisa searti dgn marga yg berwatak 5..
sementara kata ’reja’ dpt berarti makmur, secara guru dasanama searti dgn kata ’karta’ yg berwatak 4..
nuwun
Nyuwun tulung dipundamelaken sengkalan kangge peresmian sekolah taun 1979
untuk tahun 1979 salah satunya bisa digunakan kalimat: gatraning piwulang ambuka budi.. dpt diartikan bermacam-macam pelajaran dapat membuka pikiran..
bisa jg miterat teman saya eyang padma digunakan kalimat: kusumaning sabda ambuka buwana
nuwun
maturnuwun sanget
sami 2 bu
Nuwun sanget,
Mugi-mugi nopo ingkang sampun sampeyan awiti handadosaken kebagusan ingkang migunani tumraping liyan soho tumrapipun wangsa jawadwipa …
Monggo dilajengaken.
matursuwun sanget eyang padma atas kunjungan dan komentarnya.. semoga bisa menambah khazanah dlm tulisan ini..
Miterat panjenengan, sengkalan ingkang sae niku sak saget-sagetipun wonten kaleh perkawis utawi kaleh makno. (1) Hanggadahi makno watak ongko, ugo (2) Kalimat ingkang kasusun wau (nomer 1) katoto kanti sae, endah dipunwaos, tentrem dipunraosaken, hanggadahi kebagusan soho piwulang adiluhur lan agung, lan ugi mboten rancu (bertentangan).
Monggo dipunraosaken saking kalimat “Sucining Brahmana Kusumaning Gusti”.
Ngapunten kathah lepatipun.
leres eyang padma, 2 perkara tsb mmg hrs diperhatikan dlm penulisan sengkalan..
ttg sengkalan sucining brahmana kusumaning gusti punika sdh sy jelaskan artinya dlm postingan pertama dgn judul ’sastra pratama’..
matursuwun sanget
saya bermimpi dapat pesan Ing Condro Sengkolo Lawon Sapto Ngesthi Aji apa artunya mas… matur suwun sebelumnya…
Lawon Sapto Ngesti Aji klau tidak slh adalah kalimatnya Sabda Palon.. namun sy tidak melihatnya sbagai sengkalan sebab merupakan thn yg diramalkan oleh Sabda Palon.. sementara sengkalan menggambarkan kejadian di tahun yg sdh berlalu atau sdg terjadi..
nuwun
Terima kasih mas, tulisan ini sangat berguna. cuma saya tidak setuju kalau kata-impor(arab) bisa diambil menjadi sengkalan. thanks
Terima kasih juga atas kunjungan dan komentarnya..
Saya jg tidak setuju dgn komentar Anda :-), sbb tidak disertakan alasannya.. tentu akan sangat berharga jika ada koreksi yg disertai alasan yg dpt diterima..
Perkembangan budaya tergantung pengaruh perubahan jaman.. jika itu pengaruh positif, saya kira tdk mengapa..